بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Liberal, yang bermakna bebas, adalah sebuah kata yang sebetulnya tidak cocok disandarkan kepada Islam, sebab Islam itu sendiri bermakna tunduk dan patuh kepada Allah tabaraka wa ta’ala, berserah diri kepada-Nya, yang berarti tidak bebas melakukan berbagai hal dalam kehidupan ini tanpa terikat dengan ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah Rabbul’alamin.
Jika dinalar dengan logika yang sehat pun, makna Islam seperti di atas maka insya Allah sama sekali tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat, sebab akal yang sehat dapat memahami bahwa manusia dan seluruh alam ini adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan selalu butuh kepada-Nya, maka sudah sepatutnya seluruh makhluk tidak menyombongkan diri dengan menolak ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah jalla wa ‘ala.
Akan tetapi, jika akal manusia telah rusak, baik sadar maupun tidak sadar, maka logika di atas dapat terbalik seratus delapan puluh derajat. Namun itulah yang terjadi apabila seseorang menganut paham liberal, bebas tak terikat dengan ketentuan-ketentuan apapun juga. Menariknya, kebanyakan pelopor paham liberal adalah orang-orang yang pernah belajar “islam” di dunia barat yang notabene didominasi oleh non muslim, sehingga “wajar” jika kemudian pandangan-pandangan mereka selalu tidak ingin terikat dengan Islam.
Sebagai bukti, mereka yang berpaham liberal pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa (sepanjang yang kami teliti, dua poin berikut adalah pangkal kekafiran mereka):
Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa Allah ta’ala, yang disembah oleh umat Islam, sebagai satu-satunya yang layak disembah sedangkan yang lain salah.
Semua agama sama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Tidak boleh seorang pun mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah.