17 Maret 2012

Antara Haid dan Lelaki

Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ أَوْ أَتَى امْرَأَةً حَائِضًا أَوْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi seorang dukun kemudian membenarkan apa yang dia katakan, atau mendatangi seorang wanita yang sedang haid, atau mendatangi (jima’ dengan) wanita lewat duburnya, maka dia telah berlepas diri dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Abu Daud no. 3405 dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 1294)

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا. قَالَتْ: وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ
“Jika salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk bermesraan dengannya, maka beliau menyuruhnya untuk mengenakan sarung guna menutupi tempat keluarnya darah haid (kemaluan), lalu beliau pun mencumbuinya.” Aisyah berkata, “Hanya saja, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan.” (HR. Al-Bukhari no. 302)

Dari Ummu Salamah -radhiallahu anha- dia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعَةٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمِيلَةِ إِذْ حِضْتُ, فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حِيضَتِي. فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ
“Ketika aku berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, lantas aku keluar secara perlahan-lahan untuk mengambil pakaian khusus untuk masa haid. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “Apakah kamu sedang nifas (haid)?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau memanggilku, lalu aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut.” (HR. Al-Bukhari no. 298 dan Muslim no. 444)

Pembahasan Fiqhiah:
Walaupun haid merupakan ketetapan Allah yang khusus mengenai wanita, akan tetapi ini tidak berarti lelaki boleh lalai dan tidak peduli terhadap hukum-hukum wanita yang haid. Hal itu karena di antara hukum-hukum tersebut ada yang berkenaan dengan dirinya, terkhusus jika dia adalah seorang suami yang tentu saja istrinya akan mengalami haid setiap bulannya. Maka penting sekali baginya untuk mengetahui hukum-hukum haid dengan alasan yang kami sebutkan tadi, dan agar ketika ada masalah mengenai haid istrinya maka istrinya tidak perlu repot-repot keluar rumah untuk bertanya kepada orang lain.

Di antara hukum-hukum haid yang berkaitan dengan lelaki adalah:
1. Dilarang melakukan hubungan intim (jima’) dengan wanita yang tengah haid, dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

2. Barangsiapa yang melanggar maka:
a. Jika dia menghalalkan perbuatannya tersebut maka dia kafir keluar dari Islam.
b. Jika dia tidak menghalalkannya maka padanya ada dua keadaan:
1. Dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu akan keharamannya. Maka orang seperti ini mendapatkan uzur dan tidak berdosa.
2. Dia melakukannya dengan sengaja, maka yang seperti dia telah melakukan dosa besar berdasarkan ijma’.

3. Bagi yang melakukannya dengan sengaja, para ulama berbeda pendapat mengenai: Apakah ada kaffarat yang harus dibayar oleh suami ataukah tidak?
Dalam masalah ini ada hadits yang bisa menuntaskan perbedaan pendapat ini, yaitu hadits Ibnu Abbas dia berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi isterinya dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya.” (HR. Ahmad no. 2015 dan Abu Daud no. 230)
Bagi yang melemahkan riwayat ini -seperti Asy-Syaikh Muqbil- maka tentunya dia akan berpendapat bahwa tidak ada kaffarat bagi yang melanggar. Sementara bagi yang menshahihkannya -seperti Asy-Syaikh Al-Albani- maka dia akan berpendapat adanya kaffarat bagi yang melanggar, dan besarnya sesuai dengan yang tersebut dalam hadits. Dan sementara ini kami lebih condong kepada pendapat yang menyatakan shahihnya hadits ini, wallahu a’lam. Karenanya kami menyatakan bahwa orang yang melanggar larangan ini wajib untuk membayar kaffarat.

4. Kaffaratnya adalah bersedekah, yang mana besarnya bisa dipilih antara 1 dinar atau setengah dinar, dan satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.

5. Apakah kaffarat ini hanya dikenakan bagi lelaki, ataukah juga dikenakan atas wanita?
Jawab: Dalam hal ini ada rincian:
a. Jika si wanita dipaksa dan tidak punya pilihan lain maka dia tidak berdosa dan juga tidak bayar kaffarat.
b. Jika si wanita tidak dipaksa tapi menurut begitu saja maka dia juga wajib membayar kaffarat bersama sang lelaki. Dimana masing-masing mereka membayar 1 dinar atau setengah dinar.
Ini merpakan pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.

6. Dilarang melakukan jima’ dengan wanita yang sudah bersih dari haid akan tetapi dia belum mandi bersih. Ini merupakan pendapat yang paling kuat di kalangan ulama berdasarkan ayat di atas, “Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” Maka Allah membolehkan jima’ dengan wanita haid dengan syarat mereka telah bersuci, bukan sekedar berhentinya haid.

7. Lebih besar lagi dosanya jika dia melakukan jima’ dengan wanita yang haid dari duburnya, karena dia telah mengumpulkan dua dosa besar dalam satu amalan.

8. Adapun mengenai hukum bermesraan dengan wanita yang haid, maka di sini ada dua keadaan:
a. Jika bermesraannya pada bagian di atas pusar dan atau di bawah lutut, maka para ulama sepakat akan bolehnya. Ini berdasarkan ayat di atas, “Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan),” dimana Allah hanya menyuruh untuk menjauhi kemaluan. Dan juga berdasarkan hadits Aisyah di atas, dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan untuk menutupi bagian kemaluan istrinya dengan sarung.
b. Bermesraan pada bagian antara lutut dan pusar, maka di sini ada 3 pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang paling tepat adalah pendapat Aisyah, Ummu Salamah, Ummu Athiyah, Asy-Sya’bi, Mujahid, Atha’, Ikrimah, Ats-Tsauri, Ishaq, Al-Auzai, Daud, dan merupakan mazhab Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah, dan pendapat Imam Ahmad, serta yang dikuatkan oleh Imam Ibnul Mundzir. Mereka menyatakan bolehnya melakukan apa saja dengan wanita haid kecuali jima’, yakni bertemunya dua yang dikhitan. Karenanya dibolehkan bermesraan dengan wanita haid pada bagian antara lutut dan pusar dengan syarat kedua kemaluan tidak bertemu.
Di antara dalilnya adalah ayat di atas, dimana yang disuruh jauhi hanyalah kemaluan. Juga berdasarkan hadits Aisyah di atas dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan untuk hanya menutupi bagian kemaluan. Dan yang lebih tegas dari itu adalah hadits Anas bin Malik dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
“Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah,” (HR. Muslim no. 455) yakni: Jima’.
Catatan:
Walaupun hal ini dibolehkan, akan tetapi bagi yang mengkhawatirkan dirinya bisa terjatuh melakukan jima’, maka hendaknya dia tidak bermesraan dengan istrinya di masa haid. Ini berdasarkan isyarat dari ucapan Aisyah -radhiallahu anha-, “Hanya saja, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan.”

9. Bolehnya tidur dan berbaring bersama wanita yang tengah haid di dalam satu selimut. Sebagaimana dibolehkannya duduk dan makan bersama mereka.

Di antara pelajaran yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas adalah:
a. Sikap kehati-hatian dari Rasulullah  dan bahwa beliau adalah manusia yang paling kuat menahan syahwatnya.
b. Haramnya mendatangi dukun lalu membenarkan ucapan mereka, bahkan hal ini termasuk perbuatan kekafiran.
c. Hendaknya seorang wanita mempunyai satu pakaian yang khusus dia pakai ketika dia haid.
d. Dari ucapan Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Apakah kamu sedang nifas (haid)?” Para ulama bersepakat bahwa hukum nifas sama seperti haid, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- sudah tahu kalau Ummu Salamah haid tapi bersaman dengan itu beliau bertanya, “Apakah kamu sedang nifas?”. Kesamaan hukum antara nifas dan haid ini pada seluruh masalah kecuali dalam segelintir masalah yang para ulama sebutkan. Ini telah kami paparkan dalam hukum-hukum haid.

http://al-atsariyyah.com/antara-haid-dan-lelaki.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar