18 Agustus 2011

Hari Raya 'Iedul Fitri

بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum-hukum Terkait Shalat Dan Hari ‘Id (Ringkas)

Hari ‘id ada dua yaitu hari ‘id al-fithr yang terkjadi pada 1 Syawal setelah selesai dari menunaikan puasa Ramadhan dan ‘id al-adhha yang terjadi pada tanggal 10 Dzul Hijjah.
Kenapa disebut dengan kata ‘id?
Dan hari ‘id disebut dengan kata ‘id karena dia selalu burlang pada tiap tahun, kembali terulang dengan kegembiraan da kebahagiaan, dan Allah Ta’ala kembali mengulang padanya dengan kebaikan yang tercurah pada hamba-Nya pada selepas penunaian ketaatan mereka yaitu puasa dan haji.
Apa hukum dua shalat ‘id?
Dua shalat ‘id yaitu ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha disyari’atkan berdasarkan al-kitab, as-sunnah dan ijam’ muslimin. Secara tegasnya dikatakan hukumnya wajib.
Adapun dari al-kitab adalah firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka shalatlah dan (menyembelihlah berkorbanlah).” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى

“Telah beruntung orang yang mensucikannya. Dan mengingat nama Rabbnya lalu menegakkan shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafa’ terus-menerus menunaikan hal ini.
Adapun dari as-sunnah, maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menunaikan shalat ‘id, sampaipun para wanita. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim,

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

“Kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘id, sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya sampaipun kami mengeluarkan wanita haidh (menghadiri ‘id). Maka mereka berada di belakang manusia, mereka bertakbir seperti takbir mereka dan berdoa seperti doa mereka dan mengharap barakah hari itu dan kesuciannya.”
Dan kata perintah itu maknanya adalah wajib untuk dilakukan, sebagaimana ini kaidah dalam ushul fiqh.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,

حَقٌّ عَلَى كُلِّ ذَاتِ نِطَاقٍ الْخُرُوجُ إِلَى الْعِيدَيْنِ

“Hak (wajib) atas setiap yang mampu, keluar menghadiri dua shalat ‘id.”
Dan juga hadits dari jalan Abu ‘Umair bin Anas,

أَنَّ قَوْمًا رَأَوَا الْهِلاَلَ فَأَتَوَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ ، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى الْعِيدِ مِنَ الْغَدِ

“Bahwa suatu kaum telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkan mereka untuk berbuka setelah meningginya siang (matahari), dan (memerintahkan) untuk keluar shalat ‘id esok harinya.”
Maka praktek beliau menggantinya (mengqadha’) shalat ‘id keesokan harinya menunjukkan bahwa kewajiban ‘id itu tidak terlepas.
Dan yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhum,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَكَيْفَ صَنَعَ ؟ قَالَ : صَلَّى الْعِيدَ ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ

“Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua ‘id berkumpul pada satu hari?” Dia berkata: “Iya”, Mu’awiyah berkata: “Bagaimana beliau berbuat?” Dia berkata: “Beliau shalat ‘id kemudian memberi rukshah terkait shalat jum’ah.”
Shalat jum’ah hukumnya wajib dan tidak mungkin perkara yang wajib diberi rukshah padanya kecuali karena sesuatu yang wajib. Karena sesuatu yang mustahab (sunnah) tidak bisa menggugurkan sesuatu yang wajib.
Pendapat akan wajibnya shalat ‘id ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullah.
Kalau wanita juga diwajibkan keluar, adakah di sana batasan-batasannya?
Wanita yang akan mengahdiri shalat ‘id di syaratkan oleh ulama’ bahwa:
  • Mereka tidak memakai wewangian.
  • Jauh dari tempat laki-laki.
  • Wanita haidh tetap menghadiri dan mendengarkan khutbah namun harus menjauhi tempat shalat (tidak ikut shalat).
  • Tidak memakai pakaian yang penuh hiasan dan mengundang perhatian.
  • Tidak memakai pakaian yang ada unsur tasyabuh.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwyatkan oleh Abu Dawud dalan Ash-Shalah (565), Ahmad (2/438) dan Ad-Darimy dalam Ash-Shalah (1279),

وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاتٍ وَيَعْتَزِلْنَ الرِّجَالَ وَيَعْتَزِلْ الحُيَّضُ المُصَلَّى

“Dan hendaknya mereka keluar (mengahadiri ‘id) dalam keadaan tidak memakai wewangian, menjauhi laki-laki dan wanita haidh menjauhi tempat shalat.”
Dimana tempat shalat ‘id ditunaikan?
Hendaknya shalat ‘id ditunaikan di tanah lapang yang dekat dengan tempat tinggal penduduk. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat ‘id di tanah lapang di kawasan pintu masuk kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id oleh Al-Bukhary dam Muslim dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha ke tanah lapang.”
Dan tidak dinukilkan bahwa beliau menunaikan shalat ‘id di masjid tanpa udzur.
Dan karena keluarnya kaum muslimin shalat di tanah lapang akan menunjukkan wibawa kaum muslimin dan islam, lebih menampakkan syi’ar-syi’ar islam, dan tidak ada kesulitan untuk melakukan hal itu.
Kecuali di Makkah maka ditunaikan di masjid karena sulit diketemukannya tempat lapang di sekitar Makkah, karena sekitar Makkah berupa gunung dan gunung.
Kapan waktu penunaian shalat ‘id?
Waktu shalat ‘id diawali dengan meningginya matahari sebatas tombak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shlat ‘id pada waktu ini. Dan waktunya terbentang sampai tergelincirnya matahari.
Bagaimana kalau tahu bahwa hari sudah ‘id ketika telah tergelincir matahari?
Maka hendaknya melakukan shalat ‘id di keesokan harinya. Hal ini berdasarkan yang diriwayatkan dari jalan Abu ‘Umair bin Anas pada hadits yang telah lewat,

أَنَّ قَوْمًا رَأَوَا الْهِلاَلَ فَأَتَوَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ ، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى الْعِيدِ مِنَ الْغَدِ

“Bahwa suatu kaum telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkan mereka untuk berbuka setelah meningginya siang (matahari), dan (memerintahkan) untuk keluar shalat ‘id esok harinya.”
Jadi bukan ditunaikan setelah tergelincirnya matahari pada hari itu, namun beliau mengakhirkannya sampai esok hari. Karena shalat ‘id itu disyari’atkan dengan berkumpulnya manusia oleh karenanya harus ada waktu  yang memungkinkan semua orang untuk bersiap-siap.
Apakah ada perbedaan antara waktu shalat ‘id al-fithr dan ‘id al-adhha?
Disunnahkan untuk agak mengakhirkan shalat ‘id al-fithr dan menyegerakan shalat ‘id al-adhha. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Syafi’i secara mursal,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَهُوَ بِنَجْرَانَ أَنْ : عَجِّلِ الأَضْحَى ، وَأَخِّرِ الْفِطْرَ ، وَذَكِّرِ النَّاسَ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada ‘Amr bin Hazm dan dia di Najran untuk menyegerakan (shalat ‘id) al-adhha dan agak mengakhirkan (shalat ‘id) al-fithr dan mengingatkan manusia.”
Dan datang dalam hadits Junub dengan sanad yang lemah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat ‘id al-fithr dan matahari setinggi dua tombak. Ulama mengatakan meskipun hadits ini lemah tapi maknanya shahih.
Disegerakannya al-adhha agar waktu untuk menyembelih kurban lebih luas, dan diakhirkannya al-fithr agar waktu pembagian zakat lebih luas.
Apa saja yang dianjurkan dan perlu diperhatikan sebelum mendatangi shalat ‘id?
Yang dianjurkan dan perlu diperhatikan diantaranya:
  • Disunnahkan makan beberapa kurma lebih dahulu sebelum keluar shalat ‘id al-fithr dan memakan dalam hitungan ganjil sebagaimana datang dalam sebuah riawayat, dan tidak makan dahulu sebelum shalat pada hari ‘id al-adhha. Dan yang menyembelih kurban disunnahkan yang pertama dia makan adalah daging hewan kurbannya. Hal ini beradasarkan ucapan Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ ، وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يُصَلِّي

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari (shalat ‘id) al-fithr kecuali (setelah)   makan. Dan tidaklah makan pada hari (shalat ‘id) al-adhha kecuali (setelah) shalat.”
Dan dalam riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ تَمَرَاتٍ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari (shalat ‘id) al-fithr kecuali (setelah) makan beberapa kurma.”
  • Dan disunnahkan untuk bersegera menuju ke tempat shalat ‘id, agar bisa mendapatkan tempat yang dekat dengan imam (bagi laki-laki), dan mendapaatkan keutamaan menunggu saat ditunaikannya shalat. Sehingga dengan demikian makin banyaklah pahalanya.
  • Disunnahkan datang ke tempat shalat dengan berjalan kaki. Hal ini berdasarkan hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al-Albany,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي الْعِيدَ مَاشِيًا ، وَيَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيقِ الَّذِي ابْتَدَأَ فِيهِ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke tempat ‘id dengan berjalan kaki, dan beliau kembali melalui jalan selain jalan yang beliau lewati (saat berangkat).”
Hal inilah yang dilakukan oleh para shahabat sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali oleh At-Tirmidzy dengan sanad yang shahih, juga dari ‘Umar, Sa’id bin AL-Musayyab, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan jama’ah dari shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum wa rahimahumullah.
Dan jika kesulitan untuk berjalan kaki maka baginya untuk berkendara, namun jalan kaki lebih sempurna dan lebih utama.
  • Disunnahkan membedakan jalan antara pergi dan pulangnya. Jika berangkat melalui suatu jalan maka pulangnya melalui jalan yang lain. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘id membedakan jalan (antara berangkat dan pulangnya).”
Dan juga berdasarkan hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu di atas.
  • Dan disunnahkan agar seorang muslim menyempurnakan penampilan untuk menghadiri shalat ‘id. Yaitu dengan memakai pakaiannya yang terbaik dan terindah. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah,

كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ ، وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau kenakan pada dua hari ‘id dan hari jum’ah.”
Dan dalam riwayat Al-Baihaqy dengan sanad yang jayyid bahwa Ibnu ‘Umar,

كَانَ يَلْبَسُ فِى الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ

“Adalah (Ibnu ‘Umar) mengenakan pada dua hari ‘id pakaiannya yang paling bagus.”
Tapi perlu diingat bahwa bukanlah makna dari menyempurnakan penampilan di sini seseorang melakukan perkara yang haram. Dalam hal ini tidak boleh kaum lelaki memakai perhiasan dari emas, sutra, dan yang padanya ada unsur tasyabuh dan pemborosan. Bahkan tidak boleh menghias diri dengan mencukur jenggot. Perkara mencukur jenggot inilah kemunkaran yang kerap terjadi pada hari ‘id. Padanya ada tasyabuh dengan kufar dari kalangan yahudi.
  • Jika berhias itu dituntut maka mandi untuk menghadiri shalat ‘id lebih ditutut lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyab rahimahullah yang diriwayatkan oleh Al-Firyaby dengan sanad yang shahih bahwa ia berkata: “Sunnah ‘id al-fithr ada tiga yaitu: Berangkat dengan berjalan kaki menuju tempat shalat (tanah lapang), makan dahulu sebelum berangkat, dan mandi.”
  • Dan juga melakukan pembersihan badan seperti yang dilakukan ketika akan menghadiri shalat jum’ah. Yaitu dengan memotong kuku, merapikan kumis, mencabut bulu ketiak dan selainnya yang dituntut kebersihan dan kerapiannya.
Shalat ‘id ada berapa raka’at?
Shalat ‘id itu dua raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Baihaqy secara mauquf dan memiliki hukum marfu’,

صَلاَةُ الأَضْحَى رَكْعَتَانِ ، وَصَلاَةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ ، وَصَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ ، وَهِيَ تَمَامٌ لَيْسَ بِقَصْرٍ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat ‘id al-adhha itu dua raka’at, shalat ‘id al-fithr itu dua raka’at, dan shalat jum’ah itu dua raka’at. Itu semua sempurna bukan qashr berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam “Ash-Shahihain”,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا ، وَلاَ بَعْدَهَا

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari shalat ‘id al-fithr, maka beliau shalat dua raka’at, beliau tidak shalat sebelumnya tidak pula setelahnya.”
Hadits terkait shalat ‘id beliau sebanyak dua raka’at adalah hadits yang banyak.
Bagaimana cara shalatnya?
Shalat dengan melakukan takbir tambahan sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan doa istiftah pada raka’at pertama sebelum ta’awudz dan membaca surat. Dan pada raka’at kedua melakukan takbir tambahan sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri dan takbir ruku’.
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakekya,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً ، سَبْعًا فِي الأُولَى ، وَخَمْسًا فِي الآخِرَةِ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan takbir pada shalat ‘id dua belas takbir, tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada rak’at kedua.”
Diriwayatkanoleh Ahmad dan Ibnu Majah dan sanadnya hasan dengan semua jalannya.
Dan semakna dengan ini hadits Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany, Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى ، فِي الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan takbir pada shalat ‘id al-fithr dan al-adhha pada raka’at pertama tujuh kali takbir dan pada raka’at kedua lima kali takbir, selain dua takbir ruku’.”
Kalau ada yang mengatakan telah datang pada beberapa riwayat bahwa shahabat melakukan takbir tambahan ini berbeda-beda jumlahnya?
Jawabannya: Imam Ahmad mengatakan: “Para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dalam maslah takbir ini dan semuanya boleh.”
Apa hukum takbir tambahan ini, dan jika kelupaan atau ketinggalan bagaimana?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/147): “Hukum takbir tambahan ini sunnah mu’akaddah. Dan jika seseorang terlupa atau tertinggal sebagiannya atau seluruhnya  maka tidak dituntut untuk mendatangkannya. Kecuali jika dia tertinggal satu raka’at penuh maka dalam menyempurnakan raka’at shalatnya dia mendatangkan takbir tambahan juga.”
Kalau kelupaan jumlah takbir tambahannya bagaimana?
Maka dia mengambil hitungan yang sedikit. Misal, dia lupa ini ketiga atau keempat, maka dia mengambil yang sedikit yaitu menganggap bahwa ini yang ketiga.
Doa istiftah harus setelah takbiratul ihrah atau setelah takbirat tambahan?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/147): “Doa istiftah dilakukan setelah takbiratul ihram, menurut para ulama, dan jika dibaca setelah semua takbir tambahan maka tidak mengapa. Perkaranya luas.
Apakah disyari’atkan mengangkat tangan saat melakukan takbir?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan tidak mengangkat tangan, karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat tangan saat takbir tambahan ini.
Ulama yang lain mengatakan disyari’atkan mengangkat tangan saat takbir ini. Hal ini berdasarkan atsar beberapa shahabat diantaranya Ibnu ‘Umar, dan ini adalah yang masyhur dari madzhab hanabilah (hanbaly). Demikian disebutkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (16/148). Dan Ibnu Qudamah menyebutkan dalam “Al-Mughny” (2/234): “Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya bersama takbir dalam shalat, Ahmad berkata: “Adapun aku memandang bahwa takbir tambahan juga masuk pada keumuman hadits ini. Dan diriwayatkan dari ‘Umar bahwa dia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir dalam shalat janazah dan shalat ‘id. Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Dan tidak dikatahui ada yang menyelisihinya dari kalangan shahabat.”
Permasalahan masalah khilafiyah, masing-masing berusaha mengamalkan yang menurutnya lebih dekat pada kebenaran sesuai dengan batas keilmuannya, tanpa harus mencela yang mengambil pendapat yang lain.
Apakah ada dzikir tertentu antara takbir-takbir tambahan ini?
Sebagian ulama mengatakan hendaknya berdzikir dengan memuji Allah Ta’ala. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa tidak ada dzikir yang warid dalam hal ini, dan perkaranya luas. Ibnul Qayyim berkata: “Beliau diam sebentar antara dua takbir, dan tidak dihafal dari beliau dzikir tertentu antara takbir-takbir ini.”
Bacaan surat dibaca dengan jahr (keras) atau dengan sir (pelan)?
Bacaan surat dijahrkan. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny,

كَانَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْعِيدَيْنِ وَالاِسْتِسْقَاءِ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaannya pada shalat ‘id dan istisqa’.”
Dan para ulama telah ijma’ akan hal ini, dan kaum muslimin terus menerus beramal seperti ini.
Surat apa yang dibaca setelah membaca Al-Fatihah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al’A'la pada raka’at pertama dan surat Al-Ghasyiyah pada raka’at kedua. Hal ini berdasarkan hadits Samurah yang diriwayatkan oleh Ahmad.
Atau membaca surat Qaf pada raka’at pertama dan surat Al-Qamar pada raka’at kedua. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Syaikhul Islam berkata: “Apapun surat yang dibaca maka itu boleh, sebagaimana hal itu diperbolehkan dalam shalat-shalat yang lain. Akan tetapi jika membaca yang diriwayatkan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu lebih baik….”
Bagaimana jika ketinggalan shalat ‘id?
  • Orang yang ketinggalan shalat ‘id disunnahkan mengqadha’nya sesuai dengan tata caranya, yaitu shalat dua raka’at dengan tambahan dua belas takbir. Karena qadha’ itu ibarat dari penunaian. Hal ini berdasarkan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim,

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Apa yang kalian dapatkan, shalatlah. Dan yang kalian tertinggal darinya sempurnakanlah.”
  • Jika ketinggalan satu rak’at bersama imam, maka dia menyempurnakan kekurangannya.
  • Jika dia datang dan imam sudah khutbah (selesai shalat) maka dia duduk mendengarkan khutbah dahulu lalu mengqadha’ shalatnya
Dan qadha’ ini bisa dilakukan sendirian ataupun berjama’ah.
Kapan khutbah dilakukan?
Melakukan khutbah setelah dua raka’at dan tidak mendahulukan khutbah sebelum shalat. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menunaikan shalat dua ‘id sebelum melakukan khutbah.”
Inilah sunnah dan amalan keumuman para ulama. At-Tirmidzy rahimhullah berkata: “Padanya amalan ahlul ilmi dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka, bahwa shalat dua ‘id itu sebelum khutbah.”
Ada berapakah khutbah ‘id itu?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dan yang benar adalah hanya satu khutbah. Karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas yang marfu’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa khutbah ‘id dua khutbah. Hal ini berdasarkan dua alasan:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan banyak ‘id dan tidak teriwayatkan dalam hadits yang shahih yang jelas bahwa beliau khutbah dua kali. Kalau sendainya itu dilakukan beliau niscaya akan teriwayatkan meskipun hanya dalam satu hadits.
  • Disebutkan dalam hadits Jabir bahwa khutbah jum’ah itu dua khutbah. Maka yang terpahami dari hadits ini bahwa di sana ada suatu shalat yang memiliki satu khutbah saja.
Adapun yang dinukilkan dari Ibnu Hazm bahwa dia mengatakan ijma’ ulama khutbah ‘id itu ada dua khutbah tidaklah benar, karena Al-Mardawy menyebutkan adanya khilaf yang terdahulu terjadi. Maka ini menunjukkan bahwa masalah ini khilafiyah dan yang benar satu khutbah saja.
Apakah diwajibkan menghadiri dan mendengarkan khutbah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dan pilihan, bagi yang mau mendengarkan khutbah dipersilahkan duduk dan bagi yang mau meninggalkan khutbah dipersilahkan pergi. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary,

فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Jika ingin mengutus suatu pasukan yang ia siapkan atau memerintahkan dengan sesuatu, silahkan dia memerintahkan kemudian silahkan berpaling.”
Dan dalam hadits Abdullah bin Sa’ib radhiyallahu ‘anhu haditsnya hasan diriwayatkan Abu Dawud dan dihukumi shahih oleh Al-Albany,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Kami akan berkhutbah, maka siapa yang ingin duduk mendegarkan khutbah hendaknya duduk, dan siapa yang ingin pergi silahkan pergi.”
Dengan kehadiran wanita apakah ada khutbah khusus untuk wanita?
Hendakya ada materi khusus dalam khutbah yang ditujukan kepada wanita. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat bahwa suara beliau tidak terdengar oleh kaum wanita maka beliau mendekati mereka dan memberi wejangan pada mereka, serta menganjurkan untuk bershadaqah. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam “Ash-Shahihain”.
Apakah dissyari’atkan adzan dan iqamah pada shalat ‘id?
Tidak disyari’atkan adzan dan tidak pula iqamah pada shalat ‘id. Hal ini berasarkan hadits riwayat Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

“Aku shalat dua ‘id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, (beliau shalat) tanpa adzan dan tanpa iqamah.”
Demikian pula tidak disyari’atkan panggilan tertentu seperti pada shalat gerhana dengan mengatakan “Ash-Shalah Al-Jami’ah”.
Masalah takbir pada dua hari ‘id.
Disunnahkan takbir mutlak yang tidak terikat dengan waktu, disunnahkan mengangkat suaranya kecuali kaum wanita maka tidak mengangkat suaranya.
Terkait dengan ‘id al-fithr diperbincangkan kapan mulainya. Sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i, Lajnah Ad-Da’imah dan Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dimulai sejak malam ‘id al-fithr, hal ini berdasarkan ayat,

وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan agar kalian menyempurnakan hitungannya dan agar kalian bertakbir membesarkan Allah sesuai dengan yang Allah tunjukkan pada kalian.”
Sebagian yang lain dan ini dinisbatkan sebagai pendapat jumhur mengatakan bahwa dimulai ketika keluar menuju tempat shalat.
Sebagian ulama menegaskan bahwa perkara kapan takbir ini bisa dikatakan luas, tidak perlu menyempitkan permasalahan yang memang ada kelonggaran.
Terus melakukan takbir ketika jalan menuju tempat shalat dan ketika menunggu datangnya atau ditegakkannya shalat, dengan mengangkat suara bagi laki-laki. Dan bertakbir meskipun orang-orang yang lain bertakbir. Walaupun kelihatan bersamaan namun tidak ada diniatkan takbir jama’i. Dan berakhir takbir pada hari ‘id al-fithr ketika mulai ditunaikan shalat.
Adapun takbir ‘id al-adhha dimulai sejak fajr hari ‘Arafah dan berakhir pada akhir hari tasyriq. Ini teruntuk bagi yang tidah muhrim (melakukan ihram manasik haji). Adapun yang sedang muhrim maka dia memulai takbirnya setelah zhuhur pada hari penyembelihan sampai akhir hari tasyriq. Karena dia sebelum itu sibuk dengan talbiyah, sebagaimana diterangkan dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam.
Dan disyari’atkan takbir ini setiap selesai shalat, maka sang imam setelah salam menghadap ke ma’mum lalu bertakbir.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُكَبِّرُ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ حِينَ يُسَلِّمُ مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir waktu shalat fajr hari ‘Arafah sampai waktu shalat ‘Ashr akhir hari tasyriq, setiap salam dari shalat wajib.”
Bagaimana lafazh takbir tersebut?
Ada beberapa takbir yang diriwayatkan dari para shahabat, yang masyhur adalah takbir Ibnu Mas’ud yaitu,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dan takbir Ibnu ‘Abbas yaitu

الله أكبر كبيراً ، الله أكبر كبيراً ، الله أكبر ، ولله الحمد ، الله أكبر وأجل ، الله أكبر على ما هدانا

Namun bersamaan dengan ini ulama menjelaskan bahwa masalah takbir adalah masalah yang luas. Selama dia adalah lafazh takbir mengangungkan Allah Ta’ala maka tidak mengapa. Takbir dua kali, atau tiga kali, atau tujuh kali tidaklah mengapa. Bahkan praktek Syaikh Muhammad Al-Imam beliau bertakbir sampai tujuh atau sepuluh kali, contohnya:

الله أكبر 7 مرات أو 10 مرات، الله أكبر كبيراً

Apa hukum memberi selamat pada hari ‘id?
Ulama menerangkan bahwa tidak mengapa saling memberi selamat pada hari ‘id. Syaikhul Islam mengatakan dalam “Al-Fatawa” (24/253): “Telah diriwayatkan dari beberapa orang dari shahabat bahwa mereka melakukan hal itu, dan para imam telah memberi keringanan untuk melakukan hal itu, seperti Imam Ahmad.”
Diriwayatkan bahwa sebagian shahabat mengatakan,

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُم

“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian.”
Asy-Syikha Ibnu Baz dalam “Fatawa” beliau (13/25) menegaskan: “Tidak mengapa seorang muslim mengatakan pada saudaranya sesama muslim pada hari ‘id atau selainnya:

تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة

“Semoga Allah menerima dari kami dan dari engkau amalan shalih kita.”
Dan aku tidak mengetahui ucapan yang manshush, hanya saja seorang mukmin mendoakan saudaranya dengan doa yang baik.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam “Majmu’ Fatawa wa Rasa’il” (18/128): “Ucapan selamat pada hari ‘id telah terjadi pada sebagian shahabat, kalaupun dikatakan ia tidak benar datang dari shahabat maka kita katakan hal ini adalah perkara yang menjadi adat manusia, memberi selamat antara satu dengan yang lain setelah selesainya puasa.”
Pada halaman yang sama beliau ditanya: “Apa hukum bersalaman, berpelukan dan ucapan selamat setelah shalat ‘id?”
Maka beliau mengatakan: “Semua perkara ini tidaklah mengapa, karena orang-orang tidak melakukannya sebagai bentuk ibadah dan mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Hanya saja mereka melakukannya sebagai suatu adat, pemuliaan dan penghormatan (yang wajar tentunya).”
Bagaimana masalah mencium tangan atau mencium yang lain saat ‘id?
Beliau mengatakan: “Sebagian orang jika memberi selamat pada hari ‘id disertai dengan mencium. Dan ini tidak ada tuntunannya, dan tidak perlu dilakukan maka cukup dengan salaman dan ucapan selamat.”
Ulama menjelaskan kenapa mencium ini perlu dihindari, karena padanya ada unsur ta’zhim terhadap yang dicium, yang terkadang akan bersifat berlebihan. Dan ta’zhim yang berlebihan hanya diperkenankan kepada Allah Ta’ala semata.
Bentuk ucapan selamat yang kami temukan sebagai kebiasaan orang Yaman diantaranya,

تقبل الله منا ومنك صالح أعمال كل عام أنت في خير إن شاء الله

“Semoga Allah menerima dari kami dan engkau amalan shalih, setiap tahun insyaallah engkau dalam kebaikan.”
Atau mereka mengucapkan,

عيد مبارك أو عيد كريم

“‘Id yang berbarakah.” Atau “‘Id yang mulia.”
Dan balasannya sesuai dengan yang diucapakan ada kita, kalau doa kita mengaminkan, kalau bukan doa kita ucapan yang semisal. Demikian praktek mereka.
Namun hal ini, bagi yang menganggap ini suatu adat yang sah-sah saja sebagaimana penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin silahkan diamalkan. Bagi yang memandang lain maka baginya hal itu. Tidak perlu terjadi di sini khilaf yang mendatangkan kerusakan.
Ada riwayat dari Imam Ahmad bahwa beliau mengatakan: “Aku tidak akan mengawalinya, namun jika ada yang mengucapkannya padaku aku akan menjawabnya.”
Hikmah dakwah pada hari-hari seperti ini perlu diperhatikan, kerasnya perangai dan uslub kita pada moment seperti ini terkadang dijadikan sebagian orang sebagai tolok ukur apa dan siapa kita. Jadi hendaknya tidak serampangan dan sembarangan dalam bertindak.
Terkait dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshary berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ، ثُمَ أتْبَعَهُ سِتًا مَنْ شَوَّاَل ، كَانَ كَصِيَام الدَهْرِ

“Barangsiapa puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, hal itu seperti puasa zaman.”
Diriwayatkan oleh Muslim no. 1164.
Dan para ulama telah membahas, apakah mendahulukan puasa sunnah ini atau mendahulukan qadha’? Jika dia memiliki kewajiban qadha’.
Orang yang terbebani qadha’ apakah boleh berpuasa 6 hari bulan Syawal?
Jawab: Jumhur berkata bahwa boleh bagi seseorang untuk berpuasa 6 hari bulan Syawal meskipun dia memilki kewajiban qadha’ puasa. Namun yang utama adalah dia mengqadha’ dahulu baru berpuasa 6 hari bulan Syawal.
Sebagaimana hal ini telah kami sebutkan pada artikel yang telah lewat.
Wallahu a’lam bi shawab.
Disadur dari “Al-Mulakhash Al-Fiqhy” karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dan Pelajaran “Ad-Durar Al-Bahiyah” oleh Asy-Syaikh Abdullah Mar’i hafizhahullah. Disertai dengan rujukan-rujukan yang lain.
Disadur oleh:
‘Umar Al-Indunisy
Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.
http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/09/05/28-hukum-hukum-terkait-shalat-dan-hari-id-ringkas-i/
http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/09/05/29-hukum-hukum-terkait-shalat-dan-hari-%E2%80%98id-ringkas-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar